FOKUS TV — BANTEN – Akhirnya, setelah sekian lama pelajar Banten “menyumbang” pemasukan wisata daerah lain lewat study tour, kini giliran Tanah Jawara yang menikmati pulangannya. Semua berkat satu surat edaran yang, kalau dilipat jadi pesawat kertas pun, tetap punya daya dorong ekonomi: SE Disdikbud Banten Nomor 900.171/6345 Tahun 2025.
Dalam surat itu, satuan pendidikan dilarang tegas menyelenggarakan kegiatan studi wisata ke luar wilayah Banten. Alasannya? Demi membangkitkan potensi daerah dan ekonomi lokal. Atau kalau mau lebih puitis: “Cintailah produk lokal, dimulai dari foto-foto kelas di depan Tugu Debus.”
Menurut Linda, pengamat pariwisata daerah yang tampaknya kini punya harapan baru dalam hidupnya, kebijakan ini adalah angin segar—bukan angin surga. “Surat edaran terkait larangan study tour ke luar oleh Bapak Gubernur Banten, dampaknya sangat ada. Terutama ini menjadi peluang bagi destinasi yang ada di seluruh Banten,” ujarnya penuh harap, seolah Banten adalah Bali yang baru disadari eksistensinya.
Ia juga menambahkan bahwa objek wisata buatan di hampir seluruh kabupaten/kota sudah cukup mumpuni. Mulai dari danau buatan, bukit selfie, sampai taman-taman tematik yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah guru honorer yang digaji layak.
Tapi tunggu dulu, ini bukan hanya soal foto grup pakai kaos seragam di pantai Anyer. Ada sisi mulia lain yang tak kalah penting: penghematan. Karena ternyata, study tour itu mahal. Jadi kalau sebelumnya orang tua harus iuran sampai sejuta lebih demi anaknya bisa ke Yogyakarta dan pulang dengan oleh-oleh angkringan, kini cukup keliling Pandeglang sambil bawa bekal dari rumah.
“Dengan tidak study tour ke luar daerah, itu juga dapat meringankan biaya kos pihak sekolah,” kata Linda. Meski agak rancu soal “biaya kos”, kita semua paham maksudnya: dompet orang tua bisa bernapas lega. Setidaknya sampai daftar ulang tiba.
Dan tentu saja, ini semua bukan tanpa PR. Linda berharap para pengelola wisata lokal kini tak bisa lagi santai-santai jual tiket tapi toilet masih kayak horor Jepang. “Para pengelola wisata juga agar lebih menata dan meningkatkan pelayanan objek wisata,” katanya. Alias: jangan cuma andalkan alam, tapi juga pikirkan sambutan.
Kebijakan ini memang masih berlaku dan terus diawasi. Entah siapa yang mengawasi, tapi semoga bukan hanya lewat Google Form. Beberapa sekolah bahkan sudah menjajaki kerja sama dengan destinasi lokal untuk kegiatan edukatif. Semoga bukan edukasi ala “lihat-lihat terus pulang”.
Karena pada akhirnya, anak-anak sekolah tak perlu jauh-jauh untuk belajar mencintai daerahnya sendiri. Cukup ke museum lokal, foto-foto pakai filter TikTok, dan pulang dengan pelajaran penting: ternyata “jalan-jalan itu bisa juga sambil menumbuhkan ekonomi rakyat”.
Ironisnya?
Baru sekarang kita sadar bahwa cinta tanah air bisa dimulai dari larangan keluar kota.